Jumat, 05 Juli 2013

SUMBER-SUMBER HUKUM TATA NEGARA NI'MATUL HUDA S.H M.Hum



 PENULIS : Ni’matul Huda S.H M.Hum
DI
S
U
S
U
N
OLEH
KELOMPOK 1
RUANG 01
                        RAMADHANA(12102111003)
                        LUSIANA (12102111015)
                        AJIRNA(12102111009)
                        NUR ADLINA(12102111008)
                        JULIA ULFA(12102111013)
                        MUSTAK FERI

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS JABAL GHAFUR
GLEE GAPUI-SIGLI
TAHUN 2013



BAB 2
SUMBER-SUMBER HUKUM TATA NEGARA
A.    Pengertian Sumber Hukum


Dalam lapangan ilmu pengetahuan hukum (law science), terutama pada bagian-bagian yang erat hubungannya dengan pembuatan hukum (law making) dan pelaksanaannya (law enforcement), masalah sumber  hukum merupakan suatu hal yang perlu dipahami,di analisis, serta ditimbulkan problema-problema dan pemecahannya sehingga dapat diharapkan memiliki keserasian dengan perkembangan hukum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.
Penyelidikan sumber hukum akan memberikan petunjuk tentang bagaimana dan dimana hukum itu berada
Menurut Bagir Manan, menelaah dan mempelajari sumber hukum memerlukan kehati-hatian karena istilah sumber hukum mengandung berbagai pengertian.
Sumber hukum menurut tinjauan sejarah berbeda dengan pengertian pengertian sumber hukum menurut tinjauan filsafat. Sumber hukum menurut tinjauan agama berbeda dengan pengertian sumber hukum menurut tinjauan sosiologi dan ilmu hukum. Sumber hukum menurut tinjauan sejarah adalah sebagai berikut :
1.       Stelsel hukum apakah yang memainkan peranan pada waktu yang sedang berlaku
2.      Kitab-kitab hukum, dokumen-dokumen,surat-surat dan sebagainya yang telah diperhatikan oleh pembuat undang-undang pada saat menetapkan hukum yang berlaku sekarang.
Dengan sumber-sumber tersebut para ahli sejarah dapat mengetahui perkembangan sejarah.Dari sudut filsafat , sumber hukum dipergunakan dalam arti sebagai berikut :
1.       Sumber untuk atau yang menentukan isi hukum.
2.      Sumber untuk menentukan kekuatan mengikat suatu kaidah hukum.


Pengertian sumber hukum menurut Sudikno Mertokusumo dapat diartikan dalam beberapa arti, Yaitu :
1.       Sebagai asa hukum
2.      Menunjukkan hukum terdahulu yang member bahan-bahan pada hukum yang sekarang berlaku.
3.      Sebagai sumber berlakunya,yang member kekuatan berlaku secara formal kepada peraturan hukum,(penguasa dan masyarakat)
4.      Sebaga sumber dari mana kita dapat mengenal hukum
5.      Sebagai sumber terjadinya hukum atau sumber yang menimbulkan hukum.
Menurut van Apeldoorn, istilah sumber hukum dipakai dalam arti sejarah, kemasyarakatan, filsafat, dan arti formal.
1.          Sumber hukum dalam ari sejarah
a.          Dalam arti sumber pengenalan hukum yakni semua tulisan, dokumen, inskripsi, dan sebagainya.
b.        Dalam arti sumber-sumber darimana pembentuk undang-undang memperoleh bahan dalam membentu undang-undang.

2.          Sumber hukum dalam arti sosiologi
Menurut ahli sosiologi,sumber hukum ialah factor-faktor yang menentukan isi hukum positif, misalnya keadaan-keadaan ekonomi, pandangan agama, dan saat-saat psikologi.

3.          Sumber hukum dalam arti filsafat
a.         Sebagai sumber untuk isi hukum
b.        Sebagai sumber untuk kekuatan mengikat dari hukum

4.          Sumber hukum dalam arti formal
Bagi ahli hukum praktis dan bagi tiap-tiap orang yang aktif dalam pergaulan hukum adalah peristiwa-peristiwa timbulnya hukum yang berlaku (yang mengikat hakim dan penduduk).
Menurut Joeniarto, sumber hukum dapat di bedakan dalam tiga pengertian:
1.          Sember hukum dalam pengertian sebagai asalnya hukum positif dalam bentuk berupa “keputusan dari yang berwenang”
2.         Sumber hukum dalam pengertian sebagai tempat ditemukannya aturan-aturan dan ketentuan hukum positif.
3.         Sumber hukum di hubungkan dengan filsafat,sejarah, dan masyarakat.

B.      Macam-macam Sumber Hukum
 Istilah sumber hukum mempunyai arti yang bermacam-macam. Menurut Utrecht, mengenai sumber hukum dapat dibagi dalam arti formal dan materiil. Sumber hukum dalam arti formal adalah sumber hukum yang dikenal dari bentuknya.
Untuk memperoleh sifatnya yang formal ,sumber hukum dalam arti ini setidaknya mempunyai dua cirri sebagai berikut.
1.          Dirumuskan dalam suatu bentuk untuk membedakan dari norma-norma lainnya.
2.         Berlaku umum, mengikat, dan ditaati dengan perumusan norma hukum,nilai-nilai yang terkandung didalamnya menjadi patokan,ukuran, dan pedoman yang berlaku umum.
Sumber hukum materiil adalah factor-faktor masyarakat yang memengaruhi pembentukan hukum(pengaruh terhadap pembuat undang-undang,keputusan hakim,dan sebagainya) yang menentukan isi kaidah hukum tata Negara.
C.     Sumber Hukum Tata Negara

Sumber-sumber hukum tata Negara tidak terlepas dari pengertian sumber hukum menurut pandangan ilmu hukum pada umumnya.Sumber hukum yang termasuk kedalam sumber hukum dalam arti materiil di antaranya :
1.         Dasar dan pandangan hidup bernegara
2.         Kekuatan politik yang berpengaruh pada saat merumuskan kaidah hukum tata Negara
Sumber hukum dalam formal terdiri dari :
1.          Hukum perundangan ketatanegaraan
2.         Hukum adat ketatanegaraan
3.         Hukum kebiasaan ketatanegaraan, atau konvensi ketatanegaraan
4.         Yurisprudensi ketatanegaraan
5.         Hukum perjanjian internasional ketatanegaraan
6.         Doktrin ketatanegaraan.
Hukum perundang-undangan adalah hukum tertulis yang di bentuk dengan cara-cara tertentu oleh pejabat yang berwenang dan dituangkan dalam bentuk tertulis.
Hukum adat merupakan hukum asli bangsa Indonesia yang tidak tertulis, namun tumbuh dan dipertahankan dalam persekutuan masyarakat hukum adat.
Konvensi atau (hukum) kebiasaan ketatanegaraan adalah (hukum) yang tumbuh dalam praktik penyelenggaraan Negara untuk melengkapi, menyempurnakan, dan menghidupkan kaidah kaidah hukum  perundang-undangan atau hukum adat ketatanegaraan.
Yurisprudensi yaitu kumpulan keputusan-keputusan pengadilan mengenai persoalan ketatanegaraan yang setelah disusun secara teratur memberikan kesimpulan tentang adanya ketentuan hukum tertentu yang di temukan atau di kembangkan oleh badan pengadilan.
Traktat atau perjanjian internasional ialah persetujuan yang di adakan oleh Indonesia dengan Negara-negara lain. Traktat merupakan sumber hukum yang penting, untuk itu tidak cukup traktat atau perjanjian ditandatangani oleh Indonesia, namun harus pula di ratifikasi (mendapatkan pengesahan) sebalum perjanjian itu mengikat.
Doktrin ketatanegaraan adalah ajaran-ajaran tentang hukum tata Negara yang ditemukan dan dikembangkan di dalam dunia ilmu pengetahuan sebagai hasil penyelidikan dan pemikiran seksama berdasarkan logika formal yang berlaku.
D.     Hierarki Peraturan Perundang-undangan RI
Menurut UUD 1945, dalam huruf A, disebutkan tata urutan bentuk-bentuk peraturan perundang undangan Republik Indonesia ialah sebagai berikut





Tabel 1
Hierarki peraturan Perundang-undangan Menurut TAP MPRS No.XX/MPRS/1966
-          UUD 1945
-          Ketetapan MPRS/MPR
-          UU/Peraturan pemerintah pengganti perundang-undangan
-          Peraturan pemerintah
-          Keputusan presiden
-          Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya seperti
    Peraturan Menteri
    Instruksi menteri,dan lain-lainnya.

Tata urutan diatas menunjukkan tingkatan masing-masing bentuk yang bersangkutan, dimana yang disebut lebih dahulu mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada bentuk-bentuk yang tersebutb di belakangnya (dibawahnya).
Walaupun ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 itu dirasakan sangat besar kegunaanya dalam rangka penertiban bagi peraturan perundangan yang berlaku pada saat itu , tetapi terlihat juga adanya hal-hal yang kurang pada tempatnya bahkan masih terdapat kelemahan yang seharusnya tidak terjadi dalam ketetapan tersebut.
Ajaran tentang tata urutan peraturan perundang-undangan tersebut mengandung beberapa prinsip sebagai berikut:
1.         Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya dapat dijadikan landasan atau dasar hukum bagi peraturan perundang-undangan yang lebih rendah atau berada dibawahnya.
2.         Peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah harus bersumber atau memiliki dasar hukum dari peraturan perundang-undangan yang tingkat  lebih tinggi
3.         Isi atau muatan peraturan yang lebih rendah tidak boleh menyimpang dengan yang lebih tinggi tingkatannya.
4.         Suatu peraturan hanya dapat dicabut ,diganti atau diubah dengan peraturan yang lebih tinggi atau paling tidak dengan yang sederajat.
5.         Peraturan perundangan yang sejenis apabila mengatur materi yang sama. Peraturan yang terbaru harus di berlakukan walaupun tidak dengan cara tegas dinyatakan bahwa peraturan yang lama itu dicabut.
Konsekuensi penting dari prinsip-prinsip diatas adalah harus diadakannya mekanisme yang menjaga dan menjamin agar prinsip tersebut tidak disimpangkan atau dilanggar.
E.      Hierarki Menurut UU No.11 Tahun 2012
Pada 24 mei 2004, DPR dan pemerintah telah menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan menjadi undang-undang  (UU No. 10 Tahun 2004), Undang-undang ini menegaskan bahwa pancasila merupakan sumber hukum Negara. UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan.
Sumber-sumber Hukum Tata Negara
Tabel 2
HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MENURUT UU NO. 10 TAHUN 2004
a.       UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b.      Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti UU
c.       Peraturan Pemerintah
d.      Peraturan Presiden
e.       Peraturan Daerah
1.      Perda Provinsi
2.      Perda Kabupaten/kota
3.      Perdes/peraturan Yang Setingkat

Dalam Tabel 2, diatur mengenai materi muatan peraturan perundang-undangan dari pasal 8 sampai dengan pasal 14. Menurut UU tersebut, materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang berisi hal-hal berikut:
a.          Mengatur lebih lanjut ketentuan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang meliputi :
1.       Hak-hak asasi manusia
2.      Hak dan kewajiban warga Negara
3.      Pelaksanaan dan penegakan kedaulatan Negara serta pembagian kekuasaan Negara
4.      Wilayah Negara dan pembagian daerah
5.      Kewarganegaraan dan kependudukan
6.      Keuangan daerah
b.     Diperintahkan oleh suatu Undang-undang untuk di atur dengan undang-undang


F.     Hierarki Menurut UU No. 12 Tahun 2011
Pada 12 Agustus 2011, pemerintah telah mengundangkan UU No. 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan menggantikan UU No. 10 tahun 2004. Dengan berlakunya UU yang baru ini otomatis UU No. 10 tahun 2004 dicabut dan tidak berlaku lagi.Undang-undang ini merupakan penyempurnaan terhadap kelemahan-kelemahan dalam undang-undang nomor 10 tahun 2004, yaitu antara lain:
1.          Materi dari undang-undang nomor 10 tahun 2004 banyak yang menimbulkan keracunan atau multitafsir sehingga tidak memberikan suatu kepastian hukum
2.         Teknik penulisan rumusan banyak yang tidak konsisten
3.         Terhadap materi baru yang perlu diatur sesuai dengan perkembangan atau kebutuhan hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan,dan
4.         Penguraian materi sesuai dengan yang diatur dalam tiap bab sesuai dengan sistematika.
Sebagai penyempurnaan terhadap undang-undang sebelumnya, terdapat materi muatan baru yang di tambahkan dalam undang-undang ini, yaitu antara lain:
1.         Penambahan ketetapan majelis permusyawaratan rakyat sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan dan hierarkinya ditempatkan setelah undang-undang dasar Negara republic Indonesia tahin 1945
2.         Peluasan cakupan perencanaan peraturan perundang-undangan yang tidak hanya untuk prolegnas dan prolegda melainkan juga perencanaan peraturan pemerintah, presiden, dan peraturan perundang-undangan lainnya.
3.         Pengaturan mekanisme pembahasan rancangan Undang-undang tentang pencabutan peraturan pemerintah pengganti Undang-undang.
4.         Pengaturan naskah akademik sebagai suatu persyaratan dalam penyusunan Rancangan peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Daerah kabupaten/kota.
5.         Pengaturan mengenai keikutsertaan perancang peraturan perundang-undangan, peneliti, dan tenaga ahli dalam tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan, dan
6.         Penambahan teknik penyusunan Naskah Akademik dalam lampiran I Undang-undang ini.
UU No. 12 Tahun 2011 mengatur hierarki peraturan perundang-undangan di dalam pasal 7 ayat (I) sebagai berikut


Tabel 3
HIERARKI MENURUT UU NOMOR 12 TAHUN 2011
1.       Undang-undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
2.      Ketetapan MPR
3.      Undang-undang/peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
4.      Peraturan Pemerintah
5.      Peraturan Presiden
6.      Peraturan daerah Provinsi,dan
7.      Peraturan Dearah Kabupaten/kota

Perubahan yang di munculkan dalam UU no.12 Tahun 2011 antara lain :
1.         Ketetapan MPR yang di dalam UU No.10 tahun 2004  dihapuskan dari hierarki peraturan perundang-undangan, dalam UU no.12 tahun 2011 dimunculkan kembali dan berada dibawah UUD 1945 seperti yang pernah diatur dalam Ketetapan MPR No. III/MPR/2000.
2.         Peraturan Desa yang dahulu masuk dalam Hierarki peraturan perundang-undangan, sekarang di UU No.12 tahun 2011 dihapuskan dari hierarki peraturan perundang-undangan.
3.         Materi muatan undang-undang lebih diperluas, selain berisi pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 Dan pemerintah suatu UU untuk di atur dengan UU juga sudah diakomodir mengenai pengesahan perjanjian internasional tertentu.
4.         Dalam pembentukan peraturan daerah harus dilakukan pengkajian dan penyelarasan yang dituangkan dalam Naskah Akademik.
Didalam penjelasan UU No.12 tahun 2011 juga ditegaskan bahwa yang termasuk dalam Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang berlaku di Provinsi Aceh dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) serta Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) yang berlaku di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Termasuk dalam peraturan daerah kabupaten/kota adalah Qanun yang berlaku di kabupaten/kota di Provinsi Aceh.
Jenis peraturan perundang-undangan selain yang telah disebutkan dalam pasal 7 ayat (I) di atas, diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan, yakni: peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat,Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, Badan, Lembaga atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh UU atau pemerintah atas perintah UU, DPRD Kabupaten/kota, Bupati/Walikota, Kepala desa atau setingkat.
Semua peraturan yang ditetapkan oleh lembaga khusus dan independen itu dapat di perlakukan sebagai bentuk peraturan khusus yang tunduk pada prinsip lex specialis derogate lex generalis. Termasuk katagori ini, misalnya: Peraturan Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Konstitusi, peraturan Bank Indonesia, peraturan KPU, peraturan KPI, Peraturan Komnas HAM, peraturan PPATK, dan sebagainya.
Beberapa jenis peraturan perundang-undangan yang di bentuk oleh Lembaga Negara ini selain DPR dan Presiden sebagaimana ditentukan Dalam pasal 8 ayat (I) diatas, dapat dikelompokkan kedalam beberapa jenis peraturan perundang-undanga:
1.       Peraturan lembaga yang mempunyai daya ikat hanya internal saja mengikat organisasi diantaranya peraturan tata tertib lembaga, peraturan mengenai susunan organisasi dan yang sejenis.
2.      Peraturan lembaga yang sebenarnya mengikat internal, namun dalam pelaksanaannya  banyak berhubungan dengan subjek-subjek lain di luar organisasi yang akan terkait bila hendak melakukan perbuatan hukum tertentu yang berkaitan dengan lembaga tersebut, diantaranya peraturan mahkamah konstitusi dan peraturan mahkamah agung, terutama untuk berbagai peraturan mengenai pedoman beracara.
3.      Peraturan lembaga yang mempunyai kekuatan mengikat umum yang lebih luas, misalnya peraturan Bank Indonesia tentang mata uang.

Permasalahan lain yang juga menjadi bahan perbincangan di masyarakat adalah dimunculkannya ketetapan MPR sebagai hukum formal yang hierarkinya berada di bawah UUD. Pertanyaannya, pertama,benarkah ketetapan MPR yang dimaksud oleh UU No.12 tahun 2011 hanya sekedar memberi paying bagi berlakunya sejimlah ketetapan MPRS/MPR sebagaimana maksud dalam pasal 2 dan pasal 4 ketetapan majelis permusyawaratan rakyat republic Indonesia Nomor: I/MPR/2003. Karena didalam UU No.12 tahun 2011 tidak ada satu pasalpun larangan untuk membuat ketetapan MPR yang baru. Kedua, siapa yang dapat menguji ketetapan MPR? Dapatkah mahkamah Konstitusi menguji ketatapan MPRS/MPR tersebut?